Gk7qp1DNYQGDurixnE7FWT3LyBvSK3asrvqSm057
Bookmark

Pembelajaran Matematika yang Efektif

Pembelajaran Matematika yang Efektif

Sebaiknya sebelum membaca ini, Anda membaca Pembelajaran Matematika yang Kreatif, karena post ini adalah kelanjutannya.

1. Resep Pembelajaran Efektif

Kanold (dalam Suryanto,1999) mengemukakan resep pembelajaran efektif, yang meliputi perencanaan, penyajian, dan penutupan pembelajaran sebagai berikut :

a. Perencanaan
1) Memulai pertemuan dengan tinjauan singkat atau dengan masalah pembuka selera;
2) Memulai pelajaran dengan pemberitahuan tujuan dan alasan, secara singkat;
3) Menyajikan bahan pelajaran baru sedikit demi sedikit, dan di antara bagian‐bagian penyajian yang sedikit itu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami, mencobakan, bertanya, dan sebagainya;
4) Memberikan petunjuk yang rinci untuk setiap tugas bagi siswa;
5) Memeriksa pemahaman siswa dengan jalan mengajukan banyak pertanyaan dan memberikan latihan yang cukup banyak;
6) Membolehkan siswa bekerjasama sampai pada tingkat siswa dapat mengerjakan tugas secara mandiri.

b. Penyajian
1) Pemeriksaan pemahaman oleh siswa dilakukan dengan pemberian tugas kepada siswa. Guru memberikan penjelasan pembuka jalan, kemudian siswa memyelesaikan tugas itu, lalu guru berkeliling memeriksa hasil pembelajaran,memberi bantuan, siswa membuat ringkasan proses langkah‐langkah penyelesaian tugas tersebut.
2) Pertanyaan diajukan kepada seluruh siswa; siswa diberi waktu cukup untuk menemukan jawaban; baru kemudian salah seorang siswa ditunjuk secara acak untuk menjawab pertanyaan tadi; akhirnya jawaban ditawarkan kepada siswa lain untuk menilai kebenaran atau ketepatannya.
3) Pada pembelajaran tentang konsep atau prosedur, siswa mengerjakan latihan terbimbing. Guru membimbing dengan menugasi siswa bekerja berkelompok kecil atau berpasangan untuk "merumuskan jawaban atas latihan itu", "menyelidiki pola yang mungkin ada", "menyusun strategi yang diperlukan dalam mengerjakan latihan itu", dan sebagainya.

c. Penutup pertemuan
Agar selama proses pembelajaran kondisi menyenangkan tetap terpelihara, maka penutupan dengan inti berupa refleksi ini, guru tidak lupa memberi penghargaan sekurang‐kurangnya memberi pujian kepada siswa yang telah berani memamparkan hasil diskusinya dan tidak lupa memberi penghargaan kepada kelompok ataupun siswa yang memberikan masukan yang baik. Mengingat penugasan untuk menyelesaikan suatu soal yang menantang merupakan salah satu motivasi yang kuat, maka:

1) Jika sisa waktu tinggal sedikit, digunakan untuk membuat ringkasan dari pelajaran yang baru saja selesai.
2) Jika sisa waktu agak banyak, digunakan untuk membicarakan langkah awal dari penyelesaian tugas yang harus dikerjakan di rumah.

2. Cooperative Learning sebagai Suatu Pendekatan dalam Strategi Pembelajaran Efektif

Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa belajar kooperatif merupakan pendekatan pembelajaran yang efektif untuk semua jenjang sekolah dan untuk berbagai mata pelajaran, termasuk pelajaran matematika (Suryanto, 1999)

Pada pembelajaran matematika di kelas, belajar matematika dengan pembelajaran kooperatif adalah kelompok kerja yang kooperatif, yang lebih dari sekedar kompetitif. Pada kegiatan ini sekelompok siswa belajar dengan pasti atau mendiskusikan tugas‐tugas matematika yang diberikan gurunya, saling membantu menyelesaikan tugas atau memecahkan masalah.

Slavin (1995) menyatakan bahwa ide yang melatar belakangi pembelajaran kooperatif adalah bahwa jika seseorang menghendaki sukses sebagai suatu tim, maka mereka harus memberi semangat kepada anggota tim yang lain agar menyempurnakan pemahamannya dan akan membantu mereka untuk berbuat.

Dewasa ini penelitian‐penelitian di Amerika Serikat dan beberapa tempat telah disusun secara sistematis dan praktis tentang cooperative learning, telah didokumentasikan beberapa dampak dari strategi ini dan telah diaplikasikan secara luas ke dalam perbagai pembelajaran pada perbagai lingkup kurikulumnya. Metode‐metode ini secara luas dan ekstensif telah digunakan pada hampir semua subyek dan semua jenjang pendidikan mulai dari taman kanak‐kanak sampai perguruan tinggi, pada semua jenis sekolah di seluruh dunia (Slavin:1995). Hasil yang dapat dipetik lewat pembelajaran kooperatif ini, sebagaimana yang berhasil ditangkap oleh para peneliti, menunjukkan hasil yang positif, baik yang menyangkut sikap sosial, maupun meningkatknya hasil belajar.

Dikenal beberapa macam pembelajarn kooperatif, di antaranya :
(1) Circle of Learning
(2) Group Investigation,
(3) Co­op co­op,
(4) Jigsaw I dan II
(5) Numbered Heads Together,
(6) Student Teams­Achievement Division (STAD),
(7) Team Accelarated Instruction (TAI), Team Games­ Tournament (TGT),
yang sudah barang tentu tidak semua jenis kegiatan kelompok ini cocok untuk semua materi pembelajaran.

Di bawah ini sekilas diuraikan beberapa teknik pembelajaran kooperatif tersebut, yang di antaranya :

a. Circle of Learning (Learning together, belajar bersama)
Penerapan dari belajar berkooperatif ini sangat umum. Yang dipentingkan kerja bersama, bukan sekedar beberapa orang berkumpul. Banyak anggotanya 5 – 6 orang dengan kemampuan yang beragam (mixed abilities groupy) Mereka berbagi pengalaman dan sharing pendapat dan saling membantu dengan kewajiban setiap anggota sungguh memahami jawaban atau penyelesaian tugas yang diberikan kepada kelompok tersebut. Pertanyaan atau permintaan bantuan kepada guru dilakukan hanya jika mereka sungguh sudah kehabisan akal. Yang dianggap juga penting dalam model ini adanya saling ketergantungan dalam arti positif, adanya interaksi tatap muka di antara anggota, keterlibatan anggota sungguh diperhitungkan, dan selain menggunakan keterampilan pribadi juga mengembangkan keterampilan kelompok.

b. Grup Penyelidikan (Group Investigation)
Model ini menyiapkan siswa dengan lingkup studi yang luas dan berbagai pengalaman belajar untuk memberikan tekanan pada aktifitas positif para siswa. Ada empat karakteristik pada model ini:
1) Kelas dibagi ke dalam sejumlah kelompok (grup)
2) Kelompok siswa dihadapkan pada topik dengan berbagai aspek untuk meningkatkan daya kuriositas (keingintahuan) dan saling keter‐gantungan yang positif antara mereka.
3) Di dalam kelompoknya siswa terlibat dalam komunikasi aktif untuk meningkatkan keterampilan cara belajar.
4) Guru bertindak selaku nara sumber dan fasilitator serta sumber belajar dan sebagai pimpinan tak langsung, memberikan arah dan klarifikasi hanya jika diperlukan, dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Keterlibatan siswa di sini dalam setiap kegiatan :
1) mengidentifikasi topik dan mengorganisasi “kelompok peneliti”
2) merencanakan tugas‐tugas yang harus dipelajari
3) melaksanakan investigasi
4) menyiapkan laporan akhir
5) menyampaikan laporan akhir, dan
6) evaluasi proses dan hasilnya.

c. Jigsaw (gigi gergaji)
Pada model ini, kelas dibagi menjadi beberapa kelompok dengan 4 – 6 orang. Setiap kelompok dinamai kelompok Jigsaw atau biasa juga kita sebut kelompok asal. Materi pelajaran dibagi dalam beberapa bagian/seksi sehingga setiap siswa mempelajari salah satu bagian pelajaran tersebut. Semua siswa dengan bagian pelajaran yang sama belajar bersama salam sebuah kelompok, dan dikenal sebagai “counterpart group” (CG) atau expert group (EG) yang kalau di Indonesia biasa kita namai kelompok ahli. Setiap siswa CG berdikusi dan mengklarifikasi bahan pelajaran dan menyusun sebuah rencana bagaimana cara mereka mengajar kepada teman mereka dari kelompok CG yang lain. Jika sudah siap siswa kembali ke kelompok Jigsaw mereka, dan mengajarkan bagian yang dipelajari masing‐masing kepada temannya dalam kelompok jigsaw tersebut. Hal ini memberikan kemungkinan siswa terlibat aktif dalam diskusi dan saling komunikasi baik di dalam grup Jigsaw maupun CG. Keterampilan bekerja dan belajar secara kooperatif dipelajari langsung di dalam kegiatan pada kedua jenis pengelompokan. Siswa juga diberikan motivasi untuk selalu mengevaluasi proses pembelajaran mereka.

d. Student Teams­Achievement Division (STAD)
Secara prinsip model pendekatan kooperatif dengan tipe STAD ini adalah bagaimana memotivasi siswa agar berani dan saling membantu satu dengan lainnya untuk meningkatkan pemahaman materi yang disampaikan guru.

Bagian yang paling esensial dari model ini adalah adanya kerjasama anggota kelompok dan kompetisi antar kelompok. Siswa bekerja di kelompok untuk belajar dari temannya serta “mengajar” temannya. Sehingga secara garis besar langkah‐ langkah dari tipe ini adalah:

1)Langkah ke 1:
Secara klasikal guru menyampaikan materi pembelajaran. Agar tetap dipenuhi aktivitas yang cukup tinggi, maka setidak‐ tidaknya digunakan teknik bertanya.

2)Langkah ke 2:
Guru membagi siswa dalam kelompok‐kelompok yang beranggotakan 3 sampai 5 siswa, yang kemudian dilanjutkan diskusi kelompok untuk penguatan materi di mana siswa saling bantu membantu memperdalam materi yang sudah diberikan.

3)Langkah ke 3:
Kegiatan pada langkah ini adalah diskusi kelompok untuk penguatan materi, siswa saling membantu untuk memperdalam materi yang baru saja diberikan guru.

4)Langkah ke 4:
Guru memberikan tes yang sifatnya individual, masing‐masng siswa mengerjakan tes, dengan tak boleh saling membantu di antara anggota kelompok.

5)Langkah ke 5:
Guru memberi penghargaan pada pada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan individual dari skor dasar ke skor kuis. Skor dasar dalam penilaian ini diberikan secara individual oleh guru dapat berupa tes awal, skor ulangan sebelumnya atau bahkan dapat juga diambil dari nilai rapor sebelumnya.

e. Team Assisted Individualization atau Team Accelerated Instruction (TAI)

Model yang dikembangkan oleh Slavin (1985) ini dengan beberapa alasan. Pertama model ini mengkombinasikan keampuhan kooperatif dan program pengajaran individual. Kedua, model ini memberikan tekanan pada efek social dari belajar kooperatif. Ketiga, TAI disusun untuk memecahkan masalah dalam program pengajaran, misalnya dalam hal kesulitan belajar siswa secara individual.
Model ini juga merupakan model kelompok berkemampuan heterogen. Setiap siswa belajar pada aspek khusus pembelajaran secara individual. Anggota tim menggunakan lembar jawab yang digunakan untuk saling memeriksa jawaban teman satu tim, dan semua bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban pada akhir kegiatan sebagai tanggung jawab bersama. Diskusi terjadi pada saat siswa saling mempertanyakan jawaban yang dikerjakan teman se‐tim‐nya.

3. Pembelajaran Bermakna dan Kontekstual sebagai suatu Pembelajaran Efektif dalam Strategi PAKEM

Ranah kognitif yang didasarkan atas taksonomi Gagne (dalam Skemp,1985) menempatkan obyek pembelajaran matematika dapat berupa fakta, konsep, prinsip dan skill yang pada umumnya abstrak, sehingga perlu dipilih strategi pembelajaran sedemikian hingga terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan ketrampilan menyelesaikan soal serta pemecahan masalah. Pengajaran hendaknya dimulai dari hal yang mudah baru beranjak ke hal yang sukar, dan dari hal yang sederhana beranjak ke hal yang kompleks.

Mengacu pada Permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi ini, jelas tersirat bahwa kita di dalam setiap kesempatan hendaknya memulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem) sejalan dengan itu maka pendekatan kontekstual ataupun pembelajaran matematika realistik merupakan salah satu pendekatan yang perlu mendapat perhatian secukupnya.

Belajar dan mengajar kontekstual, asumsi bahwa belajar adalah merepresentasikan suatu konsep yang mengkaitkan mata pelajaran yang dipelajari siswa dengan konteks di mana materi tersebut digunakan serta berhubungan dengan bagaimana seseorang belajar atau cara siswa belajar. Konteks memberikan arti, relevansi dan manfaat penuh terhadap belajar.

Rustana (2001) menyatakan bilamana siswa mempelajari sesuatu yang berarti, dan pada kondisi terbaiknya akan dikatakan bahwa siswa belajar materi pelajaran yang bermakna dalam kehidupannya. Dan akan tambah berarti jika siswa belajar materi pelajaran yang disajikan melalui konteks kehidupan mereka dan mereka menemukan arti dalam di dalam proses pembelajaran, dan akan menjadi lebih berarti dan menyenangkan.

The Northwest Regional Education Laboratory (dalam Rustana,2001) mengidentifikasikan adanya enam kunci dasar dari Belajar dan Mengajar Kontekstual, sebagai berikut :

a. Pembelajaran bermakna: pemahaman, relevansi, dan penilaian pribadi di mana seorang siswa berkepentingan dengan isi materi pelajaran yang harus dipelajarinya. Pembelajaran dirasakan terkait dengan kehidupan nyata atau dengan kata lain siswa mengerti manfaat isi pembelajaran, sehingga merasa berkepentingan untuk belajar demi kehidupan di masa mendatang. Prinsip ini sejalan dengan konsep pembelajaran bermakna (meaningful learning) dari Ausuble.

b. Penerapan pengetahuan: kemampuan untuk memahami apa yang dipelajari dan diterapkan dalam tatanan kehidupan dan fungsi di masa sekarang atau di masa depan.

c. Berfikir tingkat tinggi: siswa diwajibkan untuk memanfaatkan berfikir kritis dan berfikir kreatifnya dalam mengumpulkan data, pemahaman suatu isu dan pemecahan suatu masalah.

d. Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar: isi pembelajaran dikaitkan dengan standar lokal, provinsi, nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dunia kerja.

e. Responsif terhadap budaya: guru harus memahami dan menghargai nilai, kepercayaan, dan kebiasaan siswa, kawan sekolah dan masyarakat tempat ia dididik. Ragam individu dan budaya tersebut akan mempengaruhi pembelajaran dan sekaligus akan berpengaruh terhadap cara mengajar guru. Setidaknya ada 4 hal yang perlu diperhatikan di dalam pembelajaran kontekstual yaitu individu siswa, kelompok siswa baik sebagai tim atau keseluruhan kelas, tatanan sekolah dan besarnya tatanan komunitas kelas.

f. Penilaian autentik: penggunaan berbagai strategi penilaian (misalnya penilaian proyek, kegiatan siswa, penggunaan portofolio, rubrik, daftar cek, pedoman observasi, dan sebagainya) yang akan merefleksikan hasil belajar sesungguhnya.

Sementara itu Center for Occupational Research and Development (CORD) menyampaikan 5(lima)strategi bagi pendidikan dalam rangka penerapan Belajar dan Mengajar Kontekstual, yang disingkat dengan REAC (dalam Rustana, 2001) sebagai berikut :

a. Relating: Belajar dikaitkan dengan konteks pengalaman kehidupannya.
b. Experiencing: Belajar ditekankan kepada penggalian (eksplorasi), penemuan (discovery), dan penciptaan (invention).
c. Applying: Belajar bilamana pengetahuan dipresentasikan di dalam konteks pemanfaatan.
d. Cooperating: Belajar melalui konteks komunikasi interpersonal, dan pemakaian bersama, dan sebagainya.
e. Transferring: Belajar melalui pemanfaatan pengetahuan di dalam situasi atau konteks baru.

Dalam rangka pelaksanaan Belajar dan Mengajar Kontekstual diperlukan berbagai strategi, antara lain :
a. Menekankan pada pemecahan masalah/problem.
b. Mengakui kebutuhan belajar dan mengajar untuk terjadi di berbagai konteks misalnya rumah, masyarakat dan lokasi sekolah.
c. Mengajar siswa untuk mengkontrol dan mengarahkan pembelajarannya, sehingga mereka menjadi pembelajar yang mandiri (self­regulated learners).
d. Bermuara pada mengajar siswa yang memiliki keragaman konteks hidup.
e. Mendorong siswa untuk belajar dari sesamanya dan bersama‐sama atau menggunakan grup belajar interdependen (interdependent learning group).
f. Menggunakan penilaian autentik (authentic assessment).

Usaha yang tak kenal lelah dan terus menerus dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, dan salah satu terobosan yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional adalah pengembangan Belajar dan Mengajar Kontekstual yang dapat menunjang pembelajaran matematika yang efektif. (Strategi Pembelajaran Matematika SMA oleh:Drs. Setiawan, M.Pd)

Catatan tentang Pembelajaran Matematika yang Efektif di atas agar lebih baik lagi perlu catatan tambahan dari Anda. Untuk catatan tambahan atau hal lain yang perlu diketahui admin, silahkan disampaikan dan contact admin 🙏 CMIIW.

JADIKAN HARI INI LUAR BIASA!
Ayo Share (Berbagi) Satu Hal Baik.
Jika engkau tidak sanggup menahan lelahnya belajar, Maka engkau harus menanggung pahitnya kebodohan.