Calon Guru berbagi catatan terkait Kemampuan Siswa Memecahkan Masalah Matematika (Mathematics Problem Solving). Beberapa waktu yang lalu Hakekat Suatu Masalah, Masalah Rutin dan Tidak Rutin, Klasifikasi Masalah Matematika secara sederhana sudah dijelaskan.
Berikut sebagai bahan tambahan, tulisan dari Sri Wulandari Danoebroto, Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kemampuan Siswa Memecahkan Masalah Matematika (Mathematics Problem Solving)
A. Pemecahan Masalah dalam Pembelajaran Matematika
Masalah dalam matematika merupakan soal-soal yang belum diketahui prosedur pemecahannya oleh siswa. Pemecahan masalah merupakan upaya memperoleh solusi masalah dengan menerapkan pengetahuan matematika dan melibatkan keterampilan siswa berpikir dan bernalar. Pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika dapat berfungsi sebagai konteks (problem solving as context), sebagai keterampilan (problem solving as skill), dan sebagai seni dari matematika (problem solving as art) atau Stanick dan Kilpatrick (Schoenfeld, 1992) mengistilahkannya sebagai heart of mathematics.
Dalam pembelajaran matematika, pemecahan masalah dapat digunakan sebagai konteks untuk mengajarkan suatu pengetahuan matematika (konsep atau prinsip). Tujuan utama dari proses ini adalah siswa memahami konsep matematika dan bukanlah pemecahan masalah itu sendiri. Masalah dalam pembelajaran matematika disini berperan sebagai:
- justifikasi dalam mengajarkan matematika, konteks masalah yang nyata atau dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa akan meyakinkan siswa bahwa matematika bermanfaat bagi kehidupannya.
- sebagai motivasi yang spesifik mengenai suatu topik matematika
- sebagai rekreasi, masalah matematika menjadi tantangan atau permainan yang menyenangkan bagi siswa agar semakin terampil dan mahir.
- sebagai usaha mengembangkan suatu keterampilan baru, masalah diberikan dalam urutan tertentu untuk mengenalkan siswa pada materi baru dan sebagai konteks untuk bahan diskusi selanjutnya.
Dalam pembelajaran matematika, pemecahan masalah merupakan keterampilan yang ditunjukkan melalui kemampuan untuk memperoleh solusi dari masalah yang dihadapinya. Meskipun pemecahan masalah dapat diinterpretasikan sebagai suatu keterampilan, asumsi pedagogi dan epistemologi yang mendasarinya adalah keterampilan merupakan penguasaan suatu strategi atau teknik pemecahan masalah.
Siswa diajarkan suatu teknik pemecahan masalah sebagai materi pelajaran, kemudian diberikan penugasan berupa latihan-latihan sehingga siswa dapat menguasai teknik tersebut. Setelah memperoleh pengajaran pemecahan masalah seperti ini, siswa dikatakan telah memiliki keterampilan pemecahan masalah sebaik penguasaannya terhadap fakta dan prosedur yang telah dipelajari.
Pemecahan masalah merupakan seni dari matematika atau jantungnya matematika. Dalam hal ini, matematika merupakan pemecahan masalah itu sendiri. Pembelajaran matematika dimulai dari pemecahan masalah sebagai konteks untuk memperkenalkan atau memahami suatu konsep atau prinsip matematika, kemudian konsep atau prinsip yang telah berhasil dipahami tersebut diterapkan dalam soal-soal pemecahan masalah untuk melatih keterampilan siswa.
B. Kemampuan yang diperlukan sebagai Problem Solver yang sukses
Kemampuan siswa memecahkan masalah berkembang secara perlahan dan kontinu. Menurut Van De Walle (1994) terdapat beberapa aspek dalam diri siswa yang perlu dikembangkan untuk menunjang kemampuannya dalam memecahkan masalah, yaitu:
- strategi pemecahan masalah
- proses metakognitif
- keyakinan dan perilaku siswa terhadap matematika, yaitu mencakup kepercayaan diri, tekad, kesungguh-sungguhan dan ketekunan siswa dalam mencari pemecahan masalah.
Berbagai strategi pemecahan masalah perlu dikenal dan kemudian dikuasai siswa. Strategi pemecahan masalah yang bisa diajarkan dalam pembelajaran matematika, antara lain:
- strategi coba-coba,
- intelligent guessing and testing,
- membuat gambar,
- menggunakan model matematika,
- mencari pola,
- membuat tabel,
- membuat dan mengorganisir daftar data atau informasi,
- bekerja mundur,
- menalar dengan logika,
- mencoba pada masalah analog yang lebih sederhana,
- menuliskan persamaan atau kalimat terbuka,
- menggunakan kalkulator atau komputer,
- memperhitungkan segala kemungkinan, atau
- menggunakan sudut pandang yang berbeda.
Dalam proses memecahkan masalah, siswa perlu memantau jalan berpikirnya atau proses metakognitif. Dalam proses ini siswa menyadari bagaimana dan mengapa ia melakukan hal tersebut, siswa juga menyadari langkah yang diambilnya apakah berjalan dengan baik atau menemui hambatan sehingga dapat mendorong siswa untuk memikirkan alternatif lain atau berusaha memahami kembali apa masalahnya. Sebagaimana halnya dengan strategi, kemampuan metakognitif ini juga dapat dipelajari.
Keyakinan diinterpretasikan sebagai pemahaman dan perasaan seseorang yang membentuk konseptualisasi dan keterikatan seseorang dengan matematika. Di samping penguasaan siswa akan beragam strategi pemecahan masalah dan pentingnya proses metakognitif, bagaimana perasaan siswa tentang pemecahan masalah dan tentang matematika secara umum mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap usahanya untuk memecahkan masalah dan keberhasilannya dalam matematika.
Menurut Gorman (1974), faktor-faktor yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, antara lain adalah kemampuan mencari informasi yang relevan. Siswa harus dapat membedakan informasi yang relevan dan yang tidak relevan terhadap masalah yang dihadapinya. Kemudian, faktor kemampuan dalam memilih pendekatan pemecahan masalah.
Pendekatan pemecahan masalah yang berdasarkan pada keterampilan bernalar berupa uji hipotesis lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan yang tidak berdasarkan pada keterampilan bernalar. Namun, terkadang strategi yang digunakan untuk memperoleh solusi tidak selalu berjalan dengan baik sehingga siswa juga perlu memiliki fleksibilitas dalam memilih pendekatan dan fleksibilitas dalam berpikir. Di samping itu, objektivitas dan keterbukaan dalam berpikir juga dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Objektivitas dapat membantu siswa untuk bernalar secara logis.
Schoenfeld (1992) mensintesiskan 5 aspek kognitif penting, yaitu: basis pengetahuan, strategi pemecahan masalah, monitoring dan kontrol, keyakinan dan kesungguhan, serta latihan-latihan. Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah terkait dengan pengetahuan yang dimilikinya, yaitu pengetahuan yang tersimpan dalam memorinya, dan bagaimana pengetahuan tersebut dikembangkan. Basis pengetahuan matematika siswa meliputi pengetahuan informalnya tentang matematika dan pengetahuan intuitif, fakta dasar, definisi, prosedur algoritmik, prosedur rutin, pengetahuan tentang rumus-rumus, prinsip matematika atau aturan lain yang relevan.
Dalam pembelajaran, setidaknya ada dua unsur yang terlibat yaitu siswa dan guru. Bagaimana keyakinan siswa tentang matematika dan bagaimana keyakinan guru tentang matematika tentu berpengaruh terhadap proses pembelajaran itu sendiri. Keyakinan siswa tentang hakikat matematika antara lain: masalah matematika hanya memiliki satu jawaban benar, dan hanya ada satu cara yang benar untuk menyelesaikan masalah matematika. Cara itu biasanya adalah cara yang sering diajarkan guru di kelas.
Siswa umumnya juga berkeyakinan bahwa belajar matematika merupakan aktivitas terisolir dan individu, matematika yang dipelajarinya di sekolah hanya memiliki sedikit keterkaitan atau tidak terkait sama sekali dengan dunia nyata. Siswa berkemampuan rata-rata tidak dapat diharapkan untuk bisa memahami matematika, sehingga mereka merasa lebih mudah untuk menghafalkan saja dan menerapkannya secara mekanistis tanpa pemahaman. Adapun keyakinan guru tentang matematika misalnya: matematika lebih merupakan ide dan proses berpikir daripada fakta, matematika akan lebih baik dipahami dengan cara menemukan kembali ide tersebut.
Oleh karena itu, penemuan dan verifikasi merupakan proses yang penting dalam pembelajaran matematika. Guru juga berkeyakinan bahwa tujuan utama dari belajar matematika adalah mengembangkan keterampilan bernalar yang penting bagi pemecahan masalah. Guru harus merancang dan mengelola aktivitas belajar yang bersifat terbuka dan informal agar siswa memiliki kebebasan untuk bertanya dan mengeksplorasi ide mereka sendiri. Guru seharusnya mendorong siswa untuk membuat dugaan dan menalar sesuatu dengan usahanya sendiri daripada menunjukkan kepada siswa bagaimana cara mencapai solusi atau jawaban. Guru seharusnya dapat menarik intuisi dan pengalaman siswa ketika menyajikan suatu materi agar menjadikannya lebih bermakna.
Kemampuan pemecahan masalah merupakan keterampilan yang diperoleh siswa dari belajar matematika. Sehingga latihan merupakan hal yang penting agar siswa semakin terampil. Semakin siswa berpengalaman dalam memecahkan beragam masalah, semakin baik pula kemampuan pemecahan masalahnya. Akan lebih baik bila siswa tidak hanya dilatih untuk menggunakan satu strategi dalam memecahkan masalah.
Untuk itu, siswa diberi kebebasan untuk melakukan dugaan dan pembuktian sendiri berdasarkan konsep-konsep matematika yang dimilikinya. Siswa hendaknya memiliki keterampilan untuk memilih sendiri strategi apa yang tepat untuk masalah yang dihadapinya tersebut, siswa juga hendaknya dapat menggunakan strategi tersebut pada beragam masalah yang melibatkan konteks yang berbeda dan bagian yang berbeda dari matematika.
Menurut Resnick dan Ford (1981), terdapat tiga aspek yang mempengaruhi kemampuan siswa dalam merancang strategi pemecahan masalah, yaitu:
- keterampilan siswa dalam merepresentasikan masalah
- keterampilan siswa dalam memahami ruang lingkup masalah, dan
- struktur pengetahuan siswa.
Representasi matematis dapat berupa: grafik, diagram, sketsa, persamaan, tabel, formasi bilangan, simbol/lambang, kata-kata, gambar, manipulatif objek, dan berpikir tentang ide-ide matematika. Representasi matematis ini berfungsi sebagai sarana bagi siswa mengkomunikasikan gagasannya ketika menghadapi masalah matematika. Semakin baik siswa mengkomunikasikan gagasannya, semakin baik pula siswa memahami hakikat masalah yang dihadapinya. Dan sejalan dengan itu, semakin bermakna pemahaman konsep atau pengetahuan matematika siswa, maka semakin baik pula kemampuan siswa untuk merancang strategi pemecahan masalah.
Posamentier dan Stepelman (1999) memaparkan faktor-faktor yang dapat meningkatkan kreativitas siswa dalam memecahkan masalah dilihat dari aspek lingkungan belajar dan guru, antara lain: menyediakan lingkungan belajar yang mendorong kebebasan siswa untuk berekspresi, menghargai pertanyaan siswa dan ide-idenya, memberi kesempatan bagi siswa untuk mencari dan menemukan solusi dengan caranya sendiri, memberi penilaian terhadap orisinalitas ide siswa dan mendorong pembelajaran kooperatif yang mengembangkan kreativitas pemecahan masalah siswa.
Dalam kegiatan pembelajaran, bentuk kegiatan pemecahan masalah secara berkelompok dinilai lebih efisien daripada dilakukan secara individual. Faktor lain yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dari aspek guru yaitu perlakuan motivasional terhadap siswa seperti memberikan toleransi dan pengertian.
Dengan demikian, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan siswa memecahkan masalah matematika adalah:
- Kemampuan memahami ruang lingkup masalah dan mencari informasi yang relevan untuk mencapai solusi
- Kemampuan dalam memilih pendekatan pemecahan masalah atau strategi pemecahan masalah di mana kemampuan ini dipengaruhi oleh keterampilan siswa dalam merepresentasikan masalah dan struktur pengetahuan siswa
- Keterampilan berpikir dan bernalar siswa yaitu kemampuan berpikir yang fleksibel dan objektif
- Kemampuan metakognitif atau kemampuan untuk melakukan monitoring dan kontrol selama proses memecahkan masalah
- Persepsi tentang matematika
- Sikap siswa, mencakup kepercayaan diri, tekad, kesungguh-sungguhan dan ketekunan siswa dalam mencari pemecahan masalah
- latihan-latihan
Adapun peran guru yang berpengaruh positif dalam meningkatkan kemampuan siswa memecahkan masalah matematika adalah:
- Memberi cukup ruang bagi siswa untuk berkreasi
- Bersikap responsif dan toleran
- Mendorong kemandirian siswa dalam berpikir
Referensi:
- Gorman, R. M. (1974). The psychology of classroom learning: An inductive approach. Columbus, Ohio. Merril Publishing Company.
- Posamentier, A. S. & Stepelman, J. (1999). Teaching secondary school mathematics: Techniques and enrichment units (5th ed). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
- Resnick, L. B & Ford, W. W. (1981). The Psychology of mathematics for instruction. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
- Schoenfeld. (1992). Learning to think mathematically: Problem solving, metacognition, and sense making in mathematics. Dalam Grouws, Douglas A (Eds.), Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning (pp. 334-366). New York: Macmillan Publishing Company.
- van de Walle, J. A. (1994). Elementary school mathematics: Teaching developmentally (2nd ed). New York: Longman Publishing. [Kemampuan Siswa Memecahkan Masalah Matematika (Mathematics Problem Solving) | Sri Wulandari Danoebroto]
Untuk melengkapi catatan di atas silahakn di download beberapa file berikut:
- Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kemampuan Siswa Memecahkan Masalah Matematika.pdf
- Pengembangan Model Pembelajaran CTL.pps
- Persiapan dan Praktik Mengajar.pdf
- Model-Model Pembelajaran.ppt
- Tinjauan Matematika.pdf
- Pemecahan Masalah.pdf
- Contoh Masalah.ppt
- Dasar-dasar Problem Solving.pdf
- Dasar-dasar Problem Solving.ppt
- Praktek Pembelajaran Matematika.pdf
- Implikasi Konstruktivisme SD.pdf
- Dasar-dasar Psikologi Pembelajaran.ppt
- Strategi Pembelajaran SMA.pdf
Untuk segala sesuatu hal yang perlu kita diskusikan terkait Kemampuan Siswa Memecahkan Masalah Matematika (Mathematics Problem Solving) tulisan dari Sri Wulandari Danoebroto silahkan disampaikan 🙏 CMIIW😊.